Review novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan

Judul Buku : Tokyo dan Perayaan Kesedihan

Pengarang : Ruth Priscilia Angelina

Penerbit : Gramedia

Terbit : 2020

Tebal : 208 halaman


Sinopsis:

Joshua Sakaguchi Widjaja meneruskan perjalanan ke Tokyo untuk sejenak menjadi pecundang dalam hidupnya. Dia mengimpikan duduk-duduk santai bersama kopi di dekat taman dan menemukan gadis cantik untuk dijadikan teman menyenangkan. Tapi, di Tokyo yang menyambutnya dengan hangat, dia malah dipertemukan dengan Shira yang banyak bersedih dan meninggalkan banyak surat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, alih-alih menjadi pecundang, Joshua malah sibuk menjawab banyak pertanyaan yang tak pernah dia bayangkan.

Shira Hidajat Nagano melarikan diri ke Tokyo untuk menemukan penyelesaian paling terencana dalam hidupnya. Dia membayangkan terjebak di lautan hutan bersama berbagai penyesalan untuk selama-lamanya ditenggelamkan. Namun, di Tokyo yang menggigilkan hatinya, dia justru bertemu Joshua yang semarak dan mampu memvalidasi keputusasaannya. Untuk kali terakhir dalam hidupnya, bukan mengerjakan penyelesaian, Shira dihentikan sejenak oleh jawaban-jawaban yang tak pernah dia kira akan dapatkan.

Review:

Novel yang hanya butuh 2 hari untuk menyelesaikannya. Awalnya, aku kurang cocok dengan bahasa penulisan yang pakai "Gue -Lo". Tapi tetap kubaca terus sampai selesai. Aku memilih baca novel ini karena tertarik dengan judulnya (nyari yg mengandung kesedihan-kesedihan gitu) dan covernya yang cantikkk. Ternyata cerita di dalamnya tidak ada cantik-cantiknya (mengandung banyak kesedihan sesuai judul). Dari sinopsis kutebak bakal ada kisah cinta di antara Shira dan Joshua, vibe stranger to lover. Malah hubungan mereka lebih dari itu, lebih dari sekedar cinta, tapi antara hidup dan mati.

Saat membaca, novel ini menyuguhkan 2 sudut pandang dari Shira dan dari Joshua. Mereka sama-sama memiliki pergolakan pikiran. Meski tidak diceritakan secara detil tentang kehidupan masing-masing, tapi cukup membuat kita memahami keputusan yang diambil untuk sampai ke kota Tokyo. 

Aku sedikit bisa relate dengan pola pikir Shira. Dia yang tidak menjadi dirinya sendiri supaya bisa diterima dan dicintai oleh orang lain. Bahkan di hadapan sahabat dan ibunya. Mungkin di antara kita, masih bisa memilih untuk jadi diri sendiri minimal di hadapan orang terdekat kita entah itu sahabat atau keluarga. Tapi hal ini tidak berlaku dalam hidup Shira. Shira tidak membenci orang di sekitarnya, hanya saja dia dipenuhi dengan kepiluan dalam pikirannya sendiri. 

Dibanding Shira, tokoh Joshua cenderung lebih stabil dan berpendirian. Yang namanya manusia pasti tetap tidak sempurna, demikian dengan Joshua yang memiliki problem cukup melelahkan juga dalam fikirannya. Aku sempat mengira Josuha akan berperan sebagai sandaran bagi Shira. Pola pikir dan tindakan yang dilakukan Joshua banyak membantu Shira. Membantu Shira menemukan berbagai jawaban dari pertanyaan yang selama ini menggelayutinya. Memberinya kesadaran sisi dunia yang baru dari sisi yang selama ini Shira simpulkan. 

Novel ini punya cara sendiri untuk membuat pembacanya merasakan kegelisahan, kecemasan, keputusasaan yang dialami tokoh di dalamnya. Tapi tenang, tidak sesuram itu kok. Novel ini menampilkan foto hitam putih beberapa lokasi di Tokyo yang dilampirkan pada setiap pergantian bab. Dilengkapi juga dengan deskripsi keindahan tempat tempat tersebut. Mungkin bagi penggemar kota Tokyo akan sangat menyukai bagian-bagian ini.

Bagiku, novel ini membuka sedikit pandanganku. Pertanyaan Shira beberapa juga merupakan pertanyaanku. Aku bisa menemukan jawaban dari novel ini juga. Meski fiksi, tapi cukup relevan dengan kehidupan nyata (menurutku).

Ada dua hal bagus yang sangat kuingat dari novel ini. Lari dan panggilan. Maksutnya apa nih? Hehe akan aku jelaskan sedikit. Joshua mengajak Shira berlari sampai ia tidak lagi bisa mendengar suara-suara berisik dalam kepalanya, karena akan kalah dengan suara debaran jantung saat berlari. Coba deh buat teman-teman hal ini bisa dilakukan saat sedang banyak pikiran, atau sedang pusing dengan isi kepala sendiri. Tapi jangan lupa pemanasan ya, supaya tidak cedera. Dan untuk panggilan. Satu panggilan bisa jadi menyelamatkan satu nyawa. Percaya nggak? Jadi Joshua pernah menghubungi seorang teman untuk diajak bertemu saat di Jepang. Joshua tidak tahu bahwa keputusannya untuk menghubungi temannya saat itu menjadi penyelamat. Menyelamatkan temannya dari tindakan mengakhiri hidupnya. Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dihadapi teman kita. Tidak ada salahnya mengecek kondisi / mengajak bertemu teman yang lama tidak kita jumpai. Siapa tau bisa membantu, mungkin terlihat biasa saja namun bisa berarti untuk orang lain.


Baiklah, mungkin sampai di sini yang bisa aku tulis mengenaik novel Tokyo dan Perayaan Kesedihan. Aku rekomendasikan baca untuk teman yang sedang mencari novel yang bisa habis sekali duduk. Atau untuk kalian yang tipe overthinker, sepertinya cukup cocok.

Terima kasih banyak sudah berkenan membaca ulasan dariku. Sampai bertemu di review novel selanjutnya.💜

Komentar