Judul Buku | : Di Tanah Lada |
Pengarang | :Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie |
Penerbit | : PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun Terbit | : 2015 |
Jumlah Halaman | : 244 |
Keputusanku membaca buku ini karena mendapat rekomendasi dari akun literary base di twitter. Lebih spesifiknya rekomendasi novel yang bikin nangis, hampa, dan memporak porandakan emosi pembacanya. Kebetulan pada saat itu diriku butuh bacaan yg bisa mendistraksi dari dunia nyataku. Semacam pelarian(?). Hehe
Akhir-akhir ini semenjak mulai baca novel lagi, aku sangat jarang membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Feelnya ternyata beda. Lebih ngena sensasi "terkejutnya". Begitu juga dengan novel ini. Aku sama sekali belum tau akan menceritakan tentang apa, dari sudut pandang mana, plotnya bagaimana. Langsung gas baca saja lah.
Di Tanah Lada merupakan novel karya Ziggy
Zezsyazeoviennazabrizkie yang pertama kali kubaca, dan aku dibuat jatuh cinta oleh buku ini. Keinginanku untuk membaca karyanya yang lain semakin membuncah memenuhi wishlist bacaanku.
Untuk memberi gambaran sekilas perihal novel ini, aku akan sertakan sinopsisnya:
Namanya Salva. Panggilannya Ava. Namun papanya memanggil dia Saliva atau ludah karena menganggapnya tidak berguna. Ava sekeluarga pindah ke Rusun Nero setelah Kakek Kia meninggal.
Kakek Kia, ayahnya Papa, pernah memberi Ava kamus sebagai hadiah ulang tahun yang ketiga. Sejak itu Ava menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia.
Sayangnya, kebanyakan orang dewasa lebih menganggap penting anak yang pintar berbahasa Inggris. Setelah pindah ke Rusun Nero, Ava bertemu dengan anak laki-laki bernama P. Iya, namanya hanya terdiri dari satu huruf P. Dari pertemuan itulah, petualangan Ava dan P bermula hingga sampai pada akhir yang mengejutkan.
Kakek Kia, ayahnya Papa, pernah memberi Ava kamus sebagai hadiah ulang tahun yang ketiga. Sejak itu Ava menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia.
Sayangnya, kebanyakan orang dewasa lebih menganggap penting anak yang pintar berbahasa Inggris. Setelah pindah ke Rusun Nero, Ava bertemu dengan anak laki-laki bernama P. Iya, namanya hanya terdiri dari satu huruf P. Dari pertemuan itulah, petualangan Ava dan P bermula hingga sampai pada akhir yang mengejutkan.
Dari sinopsis tersebut, terlihat nampaknya novel ini akan menceritakan perjalanan Salva.
Membaca novel dari sudut pandang anak-anak bukan hal baru bagiku. Tapi novel ini "berbeda". Salva dengan cara bicaranya yang baku, setiap kali ia menemukan kosa kata baru yang belum ia ketahui artinya, ia segera mencari maknanya dalam kamus. Meski tak jarang ia masih juga kesulitan memahaminya.
Tidak hanya menceritakan cara bicara yang baku dan kamus andalannya, kita juga diberi tahu bagaimana pola pikir Salva yang berumur 6 tahun dalam melihat realitas kehidupannya. Kita disuguhkan kepolosan pikirannya, cara dia mengambil kesimpulan terhadap peristiwa-peristiwa yang masih sulit dimengerti olehnya, serta pandangannya terhadap orang dewasa.
Hal ini sangat berbeda dengan tokoh lain yang sama pentingnya, yaitu P. Ia berumur 3 tahun lebih tua daripada Salva. bisa dibilang P merupakan wujud dari sosok anak yang didewasakan oleh keadaan. Umur 10 tahun belum waktunya berfikir, memahami, dan bertindak seperti P.
Sebagaimana pada umumnya anak seusia mereka, dalam hitungan menit bisa saling mengakrabkan diri dan bermain bersama.
Ada satu hal yang menyatukan mereka. Yaitu anggapan mereka berdua bahwa seorang "papa" itu jahat. Jika menjadi papa maka orang itu jahat.
Aku sempat merasa gemas dengan interaksi di antara Salva dan P. Tapi di sisi lain aku merakan kepiluan dalam hidup mereka. Salva dan P tidak sedikit yang bisa ditemukan dalam dunia nyata. Anak-anak yang hidup di bawah kekerasan yang dilakukan orangtua mereka, tumbuh dengan makian dan siksaan, dan anak yang tumbuh sendirian sambil terus bertanya-tanya siapa orangtua mereka.
Meski novel ini diceritakan dari sudut pandang anak-anak, tapi novel ini sama sekali bukan novel anak. Malah menurutku Di Tanah Lada cocok dibaca orang dewasa, apalagi yang berencana memiliki anak. Selama ini kita mungkin sudah lupa bagaimana perasaan dan fikiran kita di masa kanak-kanak dahulu. Kita diingatkan lagi dengan membaca novel ini. Kita juga jadi tahu, bagaimana pikiran seorang anak dengan sikap dan perilaku orangtuanya. Mereka bisa melihat, mendengar, dan mengetahui hal-hal yang menurut orang dewasa belum saatnya diketahui anak. Meskipun memang sesederhana yang bisa mereka fahami.
Novel ini berhasil menggambarkan quote "It takes a village to raise a child" butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak.
Bukan hanya perihal cara mendidik orangtua, dan pendidikan yang ditempuh seorang anak. Lingkungan juga mempengaruhinya. Salva yang mendapat kesempatan bersekolah dan memiliki sosok ibu serta kakeknya sehingga bisa menjadikan ia pandai berbicara bahasa Indonedia dengan baik. Berbeda dengan P yang tidak bersekolah, hidup tanpa ibu apalagi papanya yang kerap melakukan kekerasan fisik maupun verbal. P memang lebih dewasa dibanding umurnya, tapi menurutku hal ini lah yang mengkhawatirkan.
Setelah menyelesaikan novel ini, ada kehampaan yang kurasakan. Aku cukup kesulitan menjelaskannya, yang jelas hati dan fikiranku berhasil dibuat kebingungan. "Sebenarnya apa yang barusan kubaca? Kenapa bisa seperti itu? Apa yang harus kulakukan?"
Intinya novel ini sangat kereeeennnn. Kalau diminta kasih rate, aku beri 1000000000/10. Bagus pooolll. Meskipun bisa jadi novel ini kurang "ramah" bagi yang memiliki trauma perihal KDRT.
Aku cukup merekomendasikan teman-teman untuk baca ini. Siapa tahu bisa menambah sudut pandang baru. Hehe
Sekian review yang bisa kutulis. Aku selalu berterima kasih sudah berkenan membaca tulisan ala kadarku ini.
Sampai jumpa di review novel yang lain.đź’ś
Komentar
Posting Komentar