Sejak 2 jam yang lalu, aku masih dalam posisi yang sama. Duduk di kursi penumpang, menoleh ke jendela sebelah kiri yang tepat di sebelahku. Antusiasku perlahan menguap. Kota yang dulu selalu ku rindukan, kini menjadi kota yang paling ingin aku hindari. Kota kelahiranmu. Kota yang pernah menjadi tempat kita melebur rasa rindu kala itu.
Setelah 2 tahun lamanya, akhirnya aku bisa berkunjung ke kota ini lagi. Kali ini hanya diriku sendiri, tanpamu.
Setiap lagu yang dimainkan secara acak sepanjang perjalanan ini, mengingatkanku padamu. Pada kita di masa lalu.
Ah, mataku mulai berkaca-kaca. Kukira aku sudah sembuh. Sepertinya, perasaan hampa dalam hatiku belum sepenuhnya mampu mengajak kompromi fikiranku untuk ikut serta mengosongkan bagiannya yang terdapat dirimu di dalamnya.
Aku tidak lagi mengharapkan apapun darimu.
Sejak hari itu, ketika akhirnya kamu benar-benar melepaskanku pergi.
Dirimu sudah diutuhkan kembali oleh orang lain. Posisi yang dulu sempat berusaha aku isi.
Ternyata membiasakan diri tanpamu tidak membutuhkan banyak waktu seperti yang aku bayangkan. Hanya saja, isi otakku masih belum bisa ku atur. Masih ada kamu di sana. Ada kalanya aku mengingatmu dengan rasa benci, di lain waktu aku mengingatmu dengan rasa kecewa, terkadang aku mengingatmu dengan banyak kata yang sangat ingin aku sampaikan padamu.
Ajari aku, bagaimana mengesampingkan semua itu dari fikiran?
Saat melewati tempat-tempat itu, aku otomatis menggelengkan kepala. Berusaha menghempaskan ingatan-ingatan itu.
Yang terjadi, semakin banyak kenangan yang berjejalan ingin ikut serta mengusikku.
Sungguh, aku kelelahan dengan semua ini.
Mobil yang aku tumpangi berhenti di sebuah rumah yang sangat familiar denganku, ingatkah kamu pernah berkunjung ke tempat ini?
Bertemu dengan sanak keluarga setelah 2 tahun lamanya, terasa menyenangkan.
Hadir wajah-wajah baru. Keponakanku bertambah jumlahnya. Sepupu yang seumuran denganku banyak yang sudah berkeluarga.
"Kapan nih?"
Dan lagi, pertanyaan yang sudah kuduga pasti akan kudengar hari ini.
"Doakan saja ya tante"
Jurus andalanku.
"Ini keponakanku, sebentar lagi giliran dia yang menikah. Kata ayahnya, dia harus wisuda dulu baru boleh menikah dengan kekasihnya. Kekasihnya dari daerah sini."
Aku otomatis melirik ibuku yang duduk tepat di sebelahku. Oh Tuhan, ada apalagi ini?
Seperti biasa, ibuku hanya diam. Tidak menimpali, tidak juga berusaha mengalihkan pembicaraan. Orang-orang sempat diam beberapa detik, aku tertunduk memandang tas hitam di depanku. Bersyukur sekali, anak-anak kecil (keponakan-keponakanku) mulai mengambil alih perhatian mereka. Tiba-tiba saja fikiranku kosong, aku kebingungan dengan situasi ini. Apa yang harus aku lakukan?
Komentar
Posting Komentar